Matahari
mulai lelah untuk bersinar, sehingga dia membenamkan dirinya di ujung barat.
Aku masih dapat melihat sisa-sisa sinarnya itu di balik awan yang telah memerah
ditemani oleh tetasan air dari atas genting sisa hujan tadi siang. Aku baru
saja selesai memasak untuk makan malam. Sambil menunggu suamiku pulang kerja
dan anak sulungku pulang dari kuliah. Santai rasanya, pekerjaan sebagai seorang
ibu di hari itu telah usai. Aku menikmati petang yang sepi itu dengan duduk di ruang depan sambil menonton
televisi. Aku melihat sekitar. Sepi. Sunyi. Hening. Tepat disebelah ruang
dimana aku berada adalah kamar anak bungsuku yang saat ini sedang menyelesaikan
studinya di seminari menengah. Sudah lama aku tidak bertemu dengan dia,
kebetulan besok adalah hari Minggu dan aku dapat berkunjung ke seminari untuk
melepas rasa rinduku kepada anakku. Sejenak, untuk melepas rasa rinduku, aku ke
kamar anakku yang masih tertata rapi sejak liburan yang lalu. Di meja
belajarnya, aku melihat fotonya ketika bersama-sama dengan teman-temannya di
seminari. Mereka terlihat bahagia. Tiba-tiba aku meneteskan air mata, aku
teringat akan anak sulungku.
***
Malam
itu setelah pulang dari gereja, anakku berlari mendekatiku dan terlihat
bahagia.
“Bu, aku diterima di seminari!” katanya dengan
bangga.
Aku pun hanya tersenyum.
“Nah, apa
kamu yakin mau masuk seminari, kan kakakmu juga masuk seminari?”
Aku sedikit merasa tidak rela jika anak bungusku
masuk ke seminari. Padahal kakaknya saat itu masih seorang frater yang sedang
belajar filsafat di luar kota. Anakku hanya diam tak menjawab apapun. Dia
langsung pergi meninggalkanku menuju ke kamarnya.
Beberapa
hari setelah percakapan itu, anakku sibuk mencari apalah, sepertinya untuk
keperluan masuk ke seminari. Sepertinya dia yakin untuk masuk ke seminari, dia
sudah menyiapkan segalanya. Kelihatannya dia sudah siap, hingga suatu ketika
dia datang dengan raut muka yang agak takut. Tepat dua minggu sebelum
keberangkatannya ke seminari, dia datang kepadaku.
“Bu, aku tidak jadi masuk seminari!” katanya dengan
merasa bersalah.
Aku diam sejenak dan ingin mencari tahu apa sebabnya
dia berubah pikiran dalam waktu yang singkat.
“Lha kenapa? Bukannya semuanya sudah disiapkan?”
“Iya, tapi aku merasa tidak yakin kalau imam itu
jalan hidupku. Aku merasa bahwa itu yang bukan aku rindukan selama ini.”
“Lalu mau bagaimana? Dicoba dulu saja, siapa tahu
Tuhan memang berkehendak. Lagi pula kamu bisa lihat kakakmu, dia merasa bahagia
dengan menjadi frater.”
“Ya udah deh, aku coba dulu! Bu, aku pamit dulu ya.”
Tiba-tiba dia langsung keluar sebelum aku mengatakan
apapun, tapi aku tahu dia pasti ke Gua Maria Jatiningsih. Biasanya kalau dia
sedang ada masalah, dia pergi ke sana untuk mencari ketenangan dan keheningan.
Kini
tiba saatnya, hari-hari yang ditunggu, anakku masuk ke seminari. Menahan air
mata, mungkin yang dia lakukan. Aku tahu sangat sulit baginya untuk melepas apa
yang dia miliki selama ini. Bahkan dia rela meninggalakan kekasihnya hanya
untuk dapat masuk ke seminari. Dia terlihat sangat mantap. Tetapi aku ingat
akan suatu hal, bahwa dia pernah mengatakan kalau dia tidak yakin untuk menjadi imam, berarti dia memang
sedikit terpaksa untuk masuk ke seminari. Semoga saja rasa ragu-ragu itu tidak
terlintas kembali.
Empat
puluh hari pertama, dia tidak boleh dihubungi, ditelpon bahkan berkirim surat
tidak diperbolehkan. Entah apa yang dirasakan, aku hanya dapat berdoa untuknya
supaya ia sungguh dapat berproses. Aku sekarang sering sendiri saat di rumah,
suamiku pergi bekerja sedangkan kedua anakku ada di seminari. Aku sering
melamun terutama tentang anak bungsuku, apa dia sunggu-sungguh ingin menjadi
imam atau tidak. Dalam kesendirian itu aku hanya dapat berdoa. “Jika memang itu
kehendakMu, maka terjadilah”
Satu
tahun telah berlalu, dia sekarang berada di tingkat kedua di seminari menengah.
Hari minggu kedua menjadi hari yang selalu aku tunggu karena aku dapat
mengunjungi anakku. Sampai saat itu aku masih menyembunyikan suatu rahasia
bahwa kakaknya telah keluar dari biara. Aku tahu sunggu kalau kakaknya menjadi
motivasi baginya untuk masuk ke seminari, tapi sekarang kakaknya telah keluar
dan siapa yang akan menjadi motivasi baginya. Aku takut kalau anak bungsuku
mempunyai beban status karena kakanya keluar.
Hari
yang kutunggu telah tiba, aku akan bilang kepadanya kalau kakaknya telah
keluar.
“Bu, Mas Markus keluar ya?” katanya mendahuluiku.
Aku bingung dia tahu itu darimana.
“Iya, dia keluar.” Kataku mnembuang rasa penasaran.
Semoga saja dia tetap semangat, aku takut kalau dia
nantinya merasa terbebani.
“Ya udah bu! Berarti sekarang tinggal aku, jadi aku
harus berjuang sungguh-sungguh.”
Rasa takut dan keraguan kembali menghantuiku, apa
dia sunggu yakin untuk menjadi imam. Mungkin karena dia tidak ingin membuat
malu keluarga, maka ia berkata demikian.
Sekarang
anakku sedang liburan. Dia sekarang jaranga berada di rumah entah pergi kemana
aku tidak tahu. Aku memberikan kebebasan kepadanya dengan maksud mengurangi
bebannya. Suatu hari kami
berbincang-bincang.
“Bu, sekarang aku pacaran.” katanya membuka
perbincangan sore itu.
“Ya tidak masalah, asalkan kamu bisa menempatkan diri,
ingat kamu itu masih seminaris! Jika kamu keluar karena pacaran, ibu tidak
setuju.”
“Tidak!”
“Baiklah kalau begitu.”
Mulai saat itu
aku merasa takut kalau dia keluar. Tapi aku sadar, aku tidak dapat
memaksanya untuk lanjut sebab itu adalah pilihannya.
Kringg!!! Suara telepon mengagetkanku saat lagi-lagi
aku melamun.
“Halo, bu?”
“Iya, ada apa nak?”
“Bu, aku…aku mau keluar.”
“Kenapa? Apa kamu lupa akan janji kamu dulu?”
“Ingat. Ini bukan karena pacarku itu bu. Aku merasa
tidak yakin dengan pilihan menjadi imam. Aku ingin menjadi guru. Guru
Matematika.”
Berkali-kali anakku bilang seperti itu. Tapi aku
masih sering sedikit memaksanya untuk melanjutkan dahulu. Kakaknya juga sering
menghubunginya dan bilang agar dia lanjut terlebih dahulu, akan tetapi dia
tetap saja pada keputusannya untuk mundur.
Beberapa
bulan telah berlalu dan dia masih sering bilang kalau dia ingin mundur. Bahkan
dia sampai memutuskan pacarnya untuk menunjukkan bahwa dirinya keluar buka
karena lawan jenis.
“Bu, aku tetap ingin keluar. Sekali lagi bukan karena
pacarku. Kamu sudah putus!”
“Memang sudah bulat keputusanmu itu? Sudah
dipertimbangkan sungguh?”
“Ya, aku merasa imamat bukan jalanku.”
Saat itu aku merasa sangat kecewa dan masih saja
terus memaksanya, hingga suatu saat aku ingat akan perkataannya bahwa sejak
awal dia tidak yakin masuk seminari. Tapi dia memaksa. Ya, aku sudah janji untuk tidak membebaninya.
***
Aku tesadar dari lamunan itu ketika
suamiku pulang. Tak lama kemudian anak sulungku juga pulan. Kami bertiga makan
bersama tanpa anak bungsuku.
“Pak,
Markus besuk minggu kunjungan jadi kita sama-sama mengunjungi Dwi.”
“Ibu
mau bawakan apa untuknya?” tanya suamiku
“Aku
tidak tahu! Tapi aku akan bilang, dia bebas untuk memilih jalan hidupnya,
imamat atau awam. Sekarang aku sadar, aku tidak akan membebaninya lagi.”
Semua
hanya terdiam dan hanya suara televisi dan binatang malam yang berbunyi.
Sekarang aku tidak akan membebani anakku lagi. Dulu aku mempunyai impian bahwa
salah satu dari anakku ada yang menjadi imam, dan aku akan sangat bahagia
dengan itu. Tapi bagaimanapun itu semua tergantung pada kehendak Bapa, aku
menyerahkan segalanya kepadaNya. Jika anakku keluar dia telah membuktikan bahwa
bukan karena lawan jenis, tapi memang dari hatinya yang terdalam mengatakan
bahwa imamat bukan jalannya. Dan apapun
yang dia pilih aku akan mendukungnya. Dia tetap menjadi anakku….
***